Arifinto, Penyimpangan 'Private' Vs Penyimpangan Publik

Posted on
  • Rabu, 13 April 2011
  • by
  • Izzi_tea
  • in
  • Label: ,
  • Jakarta - Walau mengaku khilaf karena telah membuka link e-mail berisi konten asusila dan
    menegaskan mundur dari DPR, publik sepertinya belum bisa melepaskan Arifinto begitu saja. Kritik, tekanan hingga cacian sampai hari ini masih deras mengalir. Begitu fatalkah kesalahan Arifinto sehingga tidak ada lagi ruang maaf yang tersedia untuknya? Bukankah kesalahan yang dilakukan oleh Arifinto sebenarnya bersifat 'private'? Jika demikian bagaimana seharusnya kita memandang kasus Arifinto?

    Pemimpin Zonder Ruang Privat

    Perilaku publik yang melakukan penghakiman secara massal terhadap pelanggaran moral
    memang bukan fenomena asing. Masyarakat dengan budaya yang paling permisif seperti
    Amerika Serikat sekalipun, terbukti sangat sensitif terhadap skandal private yang dilakukan oleh Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Sebuah studi yang dilakukan oleh John Dardis (lihat John Dardis, Speaking of Scandal, Studies: An Irish Quarterly Review, volume 89) menyebutkan bahwa, pola penghakiman publik terhadap skandal pribadi para elit yang terjadi antara tahun 1940 hingga 2000 tetap sama walau terjadi di tiga benua (Eropa, Amerika dan Asia) yang berbeda dengan karakter sosial yang berbeda pula.

    Dardis menyimpulkan bahwa, ketika seorang individu menempati posisi publik, saat itu
    juga hak-hak ruang privat yang dimilikinya luruh. Pada saat yang bersamaan, publik juga menyematkan standar perilaku yang berbeda kepada para pemimpin mereka. Di banyak tempat, standar moral yang berlaku bagi para elit jauh lebih tinggi ketimbang pola kebiasaaan masyarakat jamak. Ini berarti publik cenderung menerapkan standar ganda untuk para elite pemimpinnya. Salahkah ini?

    Distraksi Penyimpangan Publik

    Tentu, masyarakat berhak untuk berharap memiliki pemimpin yang besih dari
    penyimpangan moral pribadi. Dari sudut pandang yang berbeda, publikasi skandal pribadi elit bisa berfungsi sebagai alarm penjaga nilai-nilai moral sosial. Artinya, publik yang masih bisa meratapi skandal para pemimpinnya tentu lebih sehat ketimbang publik yang telah mati rasa.

    Namun ini semua bukan tanpa efek samping. Bila penghakiman terhadap penyimpangan
    moral private terjadi secara berlarut, masyarakat cenderung lengah terhadap bentuk
    Lihat John Dardis, Speaking of Scandal, Studies: An Irish Quarterly Review, volume 89. penyimpangan yang memiliki daya rusak lebih besar. Penyimpangan Publik. Secara sederhana penyimpangan jenis ini terjadi ketika seorang individu menyalahgunakan jabatan publik yang dimiliki. Penyimpangan publik dapat muncul dalam pola yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Dalam pola yang paling sederhana, penyimpangan publik muncul dalam bentuk abuse of power, otoritarianisme atau bahkan egoisme elitis. Sementara, dalam pola yang lebih rumit, penyimpangan publik muncul dalam bentuk manipulasi kekuasaan, kolusi hingga korupsi kolektif. Hasilnya tentu saja, terhalanginya hak masyarakat untuk mengecap kesejahteraan.

    Sekadar deskripsi sederhana, ICW menilai sepanjang tahun 2010 ada potensi kerugian
    negara akibat korupsi sebesar 3,6 trilliun rupiah. Angka ini sama nilainya dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk menambah penghasilan guru seluruh Indonesia pada 2010 lalu. Atau contoh egoisme elitis yang ditunjukkan oleh DPR dalam pembangunan gedung baru, yang juga tidak kalah destruktif. Selain mengabaikan permintaan SBY untuk berfikir ulang, ketika diingatkan akan nilai kesederhanaan, Marzuki Alie yang juga Ketua DPR balik bertanya, "Apakah parameter kesederhanan?" Apakah seperti model Rumah Sangat Sederhana?

    Tak cukup sampai disitu, dalam sebuah wawancara, koleganya kembali menimpali, "Apakah anggota Dewan harus bekerja dalam gubuk derita?". Pernyataan seperti ini tentu sangat melukai perasaan masyarakat. Apalagi jika ditimbang-timbang, angka 1,13 triliun rupiah itu sama nilainya untuk membangun 32.000 sekolah di seluruh Indonesia (hasil penghitungan yang dilakukan oleh Emmerson Yuntho).

    Kedua contoh di atas merupakan sekelumit dari besarnya daya rusak yang ditimbulkan
    oleh penyimpangan publik. Penyimpangan private yang dilakukan oleh elit memang tidak
    pantas untuk memperoleh pembenaran dengan cara apapun, namun jangan sampai menjadi pengalih perhatian atas aneka ragam bentuk penyimpangan publik yang jelas-jelas terjadi di depan mata.

    *) Rico Marbun, peneliti The Future Institute, staf pengajar Universitas Paramadina dan PTIK. Email: ricoui@yahoo.com


    http://www.detiknews.com/read/2011/04/14/082331/1616635/103/arifinto-penyimpangan-private-vs-penyimpangan-publik?nd991107103  

    0 komentar:

    Posting Komentar