Alphard sang Ustadz


Lagi-lagi saya melihat betapa tidak adilnya masyarakat negeri ini. Ketika mereka teriak-teriak minta keadilan ternyata mereka sendiripun berbuat yang jauh dari nilai-nilai keadilan. Yang paling mudah kita lihat adalah bagaimana mereka memukul seseorang yang diduga maling dan belakangan terbukti dia bukanlah seorang maling dan hanya mahasiswa yang kebetulan ada di dekat sebuah motor. Maka saya pikir, tak heran rasanya kemudian negeri ini dikaruniai dengan hakim-hakim yang tak adil, pemimpin yang dzalim, aparat yang membunuh dengan sewenang-wenang dan aneka macam bentuk ketidak adilan lainnya. Karena mereka adalah bagian dari masyarakat juga, bagian dari masyarakat yang juga tak menjunjung keadilan.



Salah satu yang cukup merisaukan saya adalah tentang Alphard sang Ustadz. Yah, entah kenapa sepertinya ustadz di negeri ini gak boleh kaya. Kalau kaya pasti dibilang mata duitan, korupsi, membodohi jamaahnya dan aneka sebutan lainnya. Ustadz di negeri ini gak boleh punya Alphard, gak boleh punya jaguar, gak boleh punya rumah mewah. Ustadz haruslah kemana-mana naik motor butut, kalau hujan kehujanan dan kalau panas kepanasan. Bajunya haruslah baju yg beliau beli puluhan tahun yang lalu sehingga warnanya lebih mirip coklat daripada putih.

Saya ingat sebuah cerita tentang seorang konsultan. Konsultan muda ini tidak memiliki mobil sehingga kemana-mana naik motor. Dia mengaku kesulitan mendapatkan klien, padahal dari segi ilmu dia sangat mempuni dan kemampuannya layak diacungi jempol. Suatu ketika konsultan ini bertemu konsultan lain, temannya menyarankannya untuk membeli sebuah mobil. Konsultan muda ini bingung, gimana belinya kalau job lagi sepi gini. “udah beli aja pakai cicilan”, kata temannya.

Akhirnya konsultan muda ini kemudian membeli sebuah mobil dan ajaibnya setelah kemana-mana dia naik mobil, kliennya kemudian bertambah banyak. Job-job couching pun berdatangan.

Manusia bagaimanapun baik hatinya akan melihat sesuatu dari fisik karena memang Allah memberi kita hanya kemampuan melihat fisik semata. Kita belum bisa melihat isi hati seseorang. Bahkan kemampuan seseorang pun tak dapat kita lihat di pertemuan pertama. Dulu ketika konsultan ini naik motor, calon kliennya pasti menganggapnya sebagai konsultan kacangan. Gimana mungkin orang naik motor akan jadi konsultan bos yang naik mercy? Maka ketika konsultan ini membeli mobil yg lumayan mewah, calon klien inipun lebih menghormatinya.

Hal yang sama terjadi pula dalam dunia dakwah. Rasanya sangat sulit diterima ketika ada ustadz dengan motor bututnya kemudian datang kepada pengusaha yang mercy-nya berjejer di depan rumah. Bisa-bisa belum ketemu pengusahanya, dia sudah diusir oleh satpam perumahan. Baca lagi, satpam perumahan lho, bukan satpam rumah.

Saya kembali ingat cerita seorang rekan dakwah yang pusing nyari pinjaman mobil mewah. Untuk apa? Untuk dipakai oleh seorang ustadz yang hendak mengunjungi seorang bos perusahaan terkenal. Akhirnya, dipakailah uang partai untuk menyewakan mobil mewah untuk sang ustadz. Dan alhamdulilah, dengan memakai mobil mewah, sang ustadz dapat melenggang dengan santai hingga ke meja sang bos dan selanjutnya bisa ditebak, bos inipun semangat mendukung dakwah.

Sekarang saya tanya, untuk menghadapi 1 bos saja musti sewa mobil mewah bagaimana dengan ustadz-ustadz di DPP yang wajib bertemu aneka bos yang bukan hanya level tingkat kota atau propinsi, tapi melobby bos-bos perusahaan multinasional. Apakah masih bisa bos2 itu dikibulin dengan mobil sewaan?

Ya.. memang dakwah tidak boleh bergantung pada hal-hal duniawi. Tapi dakwah butuh strategi, butuh gerakan cantik untuk dapat masuk ke ruang2 yang selama ini tak tersentuh dakwah.

Satu kesan yang sangat melekat dalam pikiran saya adalah ketika saya diminta ikut membantu persiapan munas di kota Surabaya. Waktu itu kebetulan saya bagian mengatur penjemputan saudara2 yang dari luar kota di bandara Juanda.

Ada beberapa qiyadah dari DPP yang sudah kita siapkan mobil Alphard untuk menjemput mereka. Tahu ndak, beberapa diantaranya justru ikut rombongan yang waktu itu naik Xenia. Ada pula yang bersedia naik Alphard karena memang sudah tersedia disana. Bahkan ada yang terang-terangan berkata, saya dari DPP tapi bukan bagian rapat, biar saya naik bis saja, jemputannya biar untuk peserta. Dyarr…

Sayapun coba berpikir kembali, kenapa para ikhwah itu jadi begitu cerewet untuk urusan simple seperti ini. Apakah hal seperti ini tak pernah mereka ketahui dalam sejarah para sahabat Rasulullah? Bagaimana gubernur mesir di jaman Umar justru begitu kaya raya. Setelah ditanya Umar, beliau menjawab, rakyatku adalah rakyat yang makmur, lebih mudah mereka mematuhi perintahku jika aku sederajat dengan mereka.

Sementara kita, kita yang menghadapi bos sebuah bengkel yang gak punya cabang dimana-mana aja gemeteran, apakah mau dikasih Alphard juga? Kita yang ketemu manajer aja mungkin gak akan bisa karena terhalang satpam apakah juga iri dengan para qiyadah yang langsung berhubungan dengan bos-bos perusahaan multinasional.

Dakwah ini harus membesar. Tak selamanya kita hanya berkutat dengan masyarakat miskin dan tersisihkan. Kita harus berbagi tugas. Kita-kita yang hidup di lingkungan menengah ke bawah, membantu para qiyadah dalam membantu mereka yang hidup di bawah kita. Sementara bagaimana melobby para bos-bos partai, bos-bos perusahaan biarlah para qiyadah yang sudah dipersiapkan secara khusus oleh jamaah.

Dan jikalau para ustadz itu kemudian mengkhianati amanah dengan hanya menikmati kekayaan yang diberikan oleh jamaah tanpa melakukan kewajibannya sebagai da’i untuk kalangan atas, maka biarlah Allah yang memberikan keputusan. Jangan sampai kemudian justru kita yang sudah tak bergerak dalam dakwah, malah menambah dosa dengan ghibah dan memfitnah para qiyadah kita.

Wallahu a’lam…

sumber : http://bejopaijo.wordpress.com/2012/11/18/alphard-sang-ustadz/
Read More...