SMS Terakhir Almarhumah Bunda Yoyoh Yusroh


Ya Rabb, aku sedang memikirkan posisiku kelak di akhirat..Mengkaitkan aku dengan berdampingan penghulu para wanita Khodijah Al Kubro yg berjuang dengan harta dan jiwanya ?Atau dengan Hafsah binti Abi Bakr yang dibela oleh Alloh saat akan dicerai karena showwamah dan qowwamahnya?Atau dengan Aisyah yang telah hafal 3500 an hadits, sedang aku…ehm 500 juga belum…Atau dengan Ummu Sulaiman yg shobirohAtau dengan Asma yg mengurus kendaraan suaminya dan mencela putranya saat istirahat dari jihadAtau dengan siapa ya ??Ya Allah, tolong beri kekuatan untuk mengejar amaliah mereka, sehingga aku laik bertemu mereka, bahkan bisa berbincang dengan mereka di taman Firdaus-Mu



Khusnul khotimah telah kau raih mujahidah, semoga kami bisa mengikuti jejakmu
Semoga Allah menempatkan beliau di sebaik-baik tempat
Dipertemukan dengan orang-orang sholih, berkumpul dalam halaqoh abadi bersama mereka
Allohummagfirlaha warhamha wa’afihi wa’fuanha..
Selamat jalan mujahidah sholihah.



http://rikadagustiningsih.wordpress.com/2011/05/21/sms-terakhir-almarhumah-ustadzah-yoyoh-yusroh/
Read More...

Karena Hidup Bukan Menunda Kekalahan

Hidup itu bukan perjalanan yang datar. Atau bergerak linear. Ada lika-likunya. Ada suka dan duka. Ada keberhasilan di satu waktu, kadang kegagalan di waktu lainnya. Bahkan iman, "yazidu wa yanqus" suatu saat naik, suatu ketika turun.

Maka mempertahankan azam dan cita-cita adalah energi jiwa yang membuat manusia mampu bertahan dalam kebermaknaan hidup. Memiliki harapan yang akan digapai adalah bahan bakar yang membuat nyali kehidupan kita tetap menyala. Kalaupun cita-cita itu telah tercapai, buatlah cita yang lebih tinggi. Kalaupun harapanmu telah kau gapai, buatlah harapan yang lebih besar hendak kau gapai. Seperti jiwa perindu Umar bin Abdul Aziz. Memancangkan cita memperoleh istri shalihah, lalu berharap menjadi amir. Kemudian khalifah. Semuanya tercapai. Ketika menjadi khalifah, ia mengerahkan segenap potensinya untuk meraih cita terakhirnya: masuk surga. Jadilah ia pemimpin yang adil dan menyejahterakan: sampai para amil kesulitan menemukan para mustahik.

Mengapa kini kita temukan orang-orang yang kehilangan daya hidup sebelum kehidupan meninggalkannya? Atau orang-orang yang diam menanti kematian datang, seraya menggumamkan dalam hatinya bait puisi Chairil Anwar: "Hidup hanya menunda-nunda kekalahan"

Manusia bisa menjadi seperti itu ketika ia tak lagi memiliki harapan, cita-cita. Dan itu bermula dari kesalahan memandang kehidupan. Bahwa hidup sekedar materi, untuk materi. Dari sana mencuatlah "godaan" yang lain: jika kau tak tahan menderita, akhiri saja hidupmu sekarang juga.

Tanpa harapan, cita-cita, bisa saja manusia tetap bertahan hidup. Namun tak ada lagi gairah dan semangat. Tak ada lagi letup-letup jiwa yang menggerakkannya untuk hidup lebih berarti, lebih bermanfaat. Ia menyerah. Ia kalah.

Ada lagi manusia yang pada awalnya memiliki cita-cita. Ia puas ketika cita-cita itu tercapai, lalu berdiam diri. Pada mulanya puas. Lama-lama menjadi tak berarti. Sebab tak ada lagi azam untuk mencapai yang lebih tinggi. "Di antara sekian jenis kemiskinan", kata KH. Rahmat Abdullah, "yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam"

Atau seseorang yang telah menorehkan prestasinya dalam pertengahan hidup. Lalu berputus asa karena ia hanya mampu mengenangnya tanpa membuat prestasi lain yang lebih besar di masa-masa akhir hidupnya. Di sini godaan iman menggoyahkannya. Ia justru kehilangan keikhlasan lalu tercebur dalam kesalahan. Memanggil topan untuk memporakporandakan kapal prestasinya. Maka kapal itupun tenggelam sebelum ditulis sejarah. Tenggelam dalam lautan kesalahan.

Khalid bin Walid mengajari kita. Menorehkan prestasi terbesar bukan di akhir hidupnya. Namanya telah mengharum sebagai pedang Allah, panglima perang yang selalu membawa pasukannya pada kemenangan. Dan puncaknya adalah Perang Yarmuk. Ketika ia berhasil membuat militer Romawi kalang kabut, ambruk. Lalu paska karya monumental itu, ia dipecat Umar. Tak pernah lagi memimipin perang. Namun ia berhasil memenangkan keikhlasan. Berhasil pula mempertahankan azam. Untuk syahid fi sabilillah. Maka seperti hadits Nabi, Khalid pun mendapatkan ini: "Siapa yang berazam mendapatkan mati syahid, ia akan dicatat sebagai syahid meskipun matinya di atas peraduan." Dan sampai kini, namanya dikenang sebagai panglima besar Islam, hingga Agha Ibrahim Akram membutuhkan lebih dari 600 halaman untuk mencatat biografinya.

Belum terlambat bagi kita untuk memancangkan cita. Menegakkannya meninggi, berkibar di angkasa. Menguatkan akarnya hingga tak pernah tercabut dari bumi jiwa. Mengokohkan tiangnya hingga tak pernah patah oleh sekencang apapun angin godaan yang menghempas menerpa. Jika cita demi cita menjadi nyata, ucapkan puji dan panjatkan syukur pada-Nya. Namun satu lagi yang kita semua belum mampu memastikannya: Menggapai ridha-Nya dan beroleh surga. Bukankah itu setinggi cita-cita dan akan terus menyalakan semangat kita? Jika demikian halnya, percayalah: hidup bukan menunda kekalahan. [Muchlisin]



http://muchlisin.blogspot.com/2011/01/karena-hidup-bukan-menunda-kekalahan.html
Read More...

Karena Doa Robithoh


Islamedia - Sebuah amplop putih berisi undangan menjadi pembicara sebuah seminar berada di tanganku. Dengan hati-hati aku robek amplop itu untuk mengeluarkan isinya, sebuah kertas HVS yang terlipat. Saat kubuka kertas itu aku menemukan namaku, Adi Saputra, sebagai pembicara dengan topik "Al-Qur'an menolak Pluralisme" di salah satu baris di antara deretan huruf-huruf yang membentuk isi surat.

Aku menghadapkan wajahku pada orang di depanku. "Baik. Insya Allah bisa." Ujarku sambil tersenyum.

"Makasih banyak, bang. Makasih banyak." Senyum orang di depanku lebih lebar. Terasa seperti senang mendengar kesediaanku.

"Siapa aja pembicara yang diundang?"

"Dari LSM Kajian Pluralisme Indonesia, ada Pak Hendrawan."

"Oh... Langsung ketua umumnya nih, yang turun?"

"Bukan bang, bukan Pak Hendrawan Ketum LSM KPI. Saya dapat rekomendasi dari Ketumnya untuk mengundang seorang anggota baru LSM itu yang baru dua bulan berada di Indonesia setelah menyelesaikan S2 di Texas. Namanya memang mirip dengan nama ketumnya."

"Oh begitu. Yah, nama Hendrawan memang pasaran sih. Hahaha..." Candaku diikuti tawa kurir pengantar undangan.

"Baik bang, saya mohon diri dulu. Ada rapat acara pukul 2 siang nanti."

"Ya, silakan. Terima kasih undangannya ya, Mas... Siapa namanya?" Tanyaku.

"Saya juga Hendrawan pak. Tapi bukan saya yang jadi pembicara. Saya masih mahasiswa kok." Dia nyengir.

"Hah? Ya ampun. Hahahaha..." Kini tawaku lebih keras dari sebelumnya. Tapi jadi merasa tidak enak hati setelah terlanjur mencandai nama Hendrawan.

"Mari bang..."

"Ya.. Mari."

Aku menarik nafas panjang. Hendrawan... Mungkin nama itu benar pasaran. Tapi ada satu entitas unik yang memakai nama Hendrawan yang melekat dalam hati. Setiap mendengar nama Hendrawan, rasa penasaranku bangkit dan kerinduanku mengharu biru. Cukup lama nama Hendrawan hadir sebagai pelengkap doa Robithoh yang sering kulantunkan pada pagi atau sore hari tanpa pernah lagi bertemu muka dengan pemilik nama itu selama 12 tahun. Aku rindu pada pemilik nama pasaran itu.

*****

Saat itu, 12 tahun yang lalu, di sebuah musholla sederhana di tepi kompleks sekolah, aku hadir di tengah lingkaran kecil yang sedang menyimak kajian keislaman yang dibawakan oleh seorang alumni. Ada sebuah dialog yang begitu berkesan dan mengisi hati.

"Doa-doa di Al-Ma'tsurat itu doa Rasulullah ya kak?" Tanyaku yang sedang mengamati sebuah buku kecil berjudul Al-Ma'tsurat Wazhifah Kubro.

"Ya." Jawab Alumni pengisi kajian. "Rasulullah rutin membacanya pagi dan sore. Karena Rasulullah tauladan kita, kita juga harus amalkan dong."

"Doa Robithoh juga doa Rasulullah?" Kali ini yang bertanya adalah orang di sebelahku. Bernama Hendrawan.

"Bukan. Itu doa yang diajarkan oleh Asy-Syahid Hasan Al-Banna. Kita kan diperbolehkan membaca doa apa saja redaksinya selama itu baik. Bahkan kita boleh berdoa dengan bahasa Indonesia. Nah, doa Robithoh ini memang bukan doa yang pernah Rasulullah lafalkan. Tapi doa ini begitu indah dan sangat baik. Dan tentu saja boleh kita amalkan."

Hendrawan manggut-manggut.

"Iya Kak, kata-katanya indah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu hati ini telah berhimpun dalam taat padamu..." Aku mengeja halaman Doa Robithoh yang kubuka. "Maka kuatkanlah ikatan pertaliannya, abadikanlah kasih sayangnya... "

"Kamu bisa bayangkan wajah saudara kamu ketika membaca doa itu. Supaya lebih khidmat." Ujar kakak Alumni.

"Begitu ya kak? Aku mau membayangkan wajah Adi supaya dia gak gampang futur." Ujar Hendrawan sedikit tertawa nakal.

"Oke, ana juga bayangin wajah antum, Hen." Jawabku.

"Bagus. Kalian saling mendoakan ya! Biar ketua dan sekretaris Rohis tetap kompak."

"Hehehehe..." Aku dan Hendrawan dan anggota pengajian lain cengengesan.

*****

Ruangan ini cukup luas. Berukuran 20x10 meter. Peserta seminar yang hadir pun cukup banyak. Ada sekitar seratusan bangku yang terisi oleh manusia. Terlihat dari wajahnya, para peserta cukup antusias mengikuti seminar kali ini.

Dan setelah 20 menit pembicara pertama menghabiskan waktu yang dijatah panitia untuk memaparkan pandangannya tentang "Al-Qur'an Mengajarkan Pluralisme", kini giliranku memaparkan topik "Al-Qur'an Menolak Pluralisme Agama." Sebuah makalah sudah siap di tangan. Aku pun memulai pembicaraan setelah tahmid dan sholawat.

"Nama saya Adi Saputra. Saya aktif sebagai ketua Yayasan Cinta Quran. Mulai akrab dengan Al-Qur'an sejak SMA ketika bergabung dengan Rohis SMA 83.

Ya saya pernah aktif di Rohis SMA. Bahkan berlanjut di Rohis kampus. Kalau Pak Hendrawan tadi bilang bahwa Rohis-Rohis SMA merupakan tunas permusuhan dengan perbedaan dan pluralisme, mungkin saja itu pengalaman beliau pribadi. Karena dulu ketika menjabat Ketua Rohis SMA 83, Pak Hendrawan ini sekretaris saya. Saya akrab sekali dengan dia, dulu. Saya tidak menyangka setelah 12 tahun berpisah akhirnya kami disatukan dalam acara seminar ini. Saya berterima kasih banyak pada panitia."

Suasana sedikit gaduh di selingi tawa dan tepukan tangan kecil. Aku melihat Hendrawan yang disampingku tertawa. Tiba-tiba tangannya membuka hendak merangkulku. Aku sambut rangkulan itu. Setelah berangkulan, wajahnya bergerak mendekati mikrofon.

"Ya saya juga kangen dengan Pak Adi. Saya juga berterima kasih pada panitia."

Aku menahan haruku. Dengan menahan sesak di dada, aku melanjutkan pemaparan makalah yang akan membantah pemaparan Hendrawan tentang pluralisme yang telah disampaikan sebelum giliranku.

*****

Acara seminar memasuki masa istirahat pas ketika adzan zhuhur berkumandang. Aku hanya bisa menyempatkan berbincang sedikit dengan Hendrawan menanyakan kondisinya, kerja dimana, dan tinggal dimana, serta bertukar nomor HP sebelum kemudian aku bergegas menuju masjid kampus.

Setelah mengikuti sholat zhuhur berjama'ah dan dilanjutkan sholat sunnah ba'diyah, aku yang bersiap meninggalkan kampus ini - karena tugasku menjadi pembicara sudah kutunaikan - didatangi seseorang yang juga menjadi pembicara pada sesi pagi tadi, Hendrawan.

"Sudah sholat, Hen?" Tanyaku.

"Sudah Di. Benar-benar perjumpaan yang tidak diduga." Dia memandangiku sejenak dan melanjutkan kalimatnya, "Dan kamu tidak berubah. Tetap istiqomah di jalan dakwah." Hendrawan tersenyum. Seperti bangga. Atau mengejekku?

"Kamu sendiri bagaimana Hen? Aku tidak menyangka kamu menjadi pendukung liberalisme sekarang." Tanyaku.

"Panjang ceritanya, Di. Setelah aku ikut orang tuaku pulang kampung ke Magelang, kita masih saling kirim kabar kan, dan kamu tahu kan aku tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak ada dana?"

Aku mengangguk.

"Tahun kedua aku di Magelang, Allah melapangkan rezki orang tuaku. Usaha orang tuaku mulai memperlihatkan kesuksesan hingga terkumpul dana untuk melanjutkan kuliahku. Aku memilih IAIN Semarang.

Awalnya aku aktif di dakwah kampus. Tapi setelah semester tiga, aku mulai mengurangi kegiatan dakwah kampus. Itu karena aku tak bisa menahan rasa cintaku pada seorang gadis yang sekarang menjadi istriku. Aku berpacaran, dan teman-teman aktifis dakwah tak bisa lagi menerimaku.

Aku mulai jauh dari dakwah. Lulus kuliah, aku meneruskan baktiku di kampus, menjadi asisten dosen. Beberapa saat mengajar di kampus, aku mendapat beasiswa melanjutkan studi di luar negeri. Dan di luar sana aku banyak berinteraksi dengan pemikiran liberal.

Dulu saat menjadi mahasiswa dan asisten dosen, aku memang dikepung pemikiran-pemikiran seperti itu. Kondisiku yang jauh dari lingkungan aktifis dakwah membuat filterku rusak dan sedikit demi sedikit menikmati diskusi liberalisme.

Memang kadang ada pertentangan batin. Hati kecilku tak setuju dengan pikiran-pikiran ini. Tapi lingkungan telah terlanjur menyeretku lebih dalam."

Ia diam. Dan dalam diam itu, aku menyerobot pembicaraan.

"Kamu tahu, sampai sekarang kamu masih aku doakan. Doa Robithoh yang aku ucapkan pagi dan petang itu, aku maksudkan agar Allah meneguhkan hati kamu dalam dakwah. Wasyroh suduroha bi faidil imani bika."

"Terasa, Di. Aku beberapa kali bermimpi kita membaca Doa Robithoh bersama." Potong Hendrawan. Aku terperanjat mendengar pengakuannya.

"Aku tidak bohong. Setelah bermimpi seperti itu aku berdoa agar kita dipertemukan dan kamu bisa menyelamatkan aku dari lingkungan yang buruk. Alhamdulillah doaku terkabul. Kita bertemu lagi, Di."

"Kalau hati kamu menolak pemikiran sesat itu, kenapa kamu bertahan dalam lingkungan yang buruk?"

"Pertemuan ini ikhtiarku untuk keluar dari lingkungan yang buruk. Kamu tahu siapa yang merekomendasikan kamu jadi pembicara di seminar ini? Aku. Aku yang merekomendasikan kamu. Selama ini aku mencari tahu tentang kamu lewat internet. Dan ketemu. Dan pas sekali momennya saat aku ditawari menjadi pembicara seminar ini."

Aku menatap sahabatku itu erat-erat.

"Aku sudah diangkat jadi PNS. Jadi, aku tidak lagi mengkhawatirkan nafkahku kalau aku murtad dari kelompok liberalis." Ujar Hendrawan disambung dengan tawanya. Aku juga ikut tertawa.

"Kamu mau kalau mulai ngaji lagi dari materi ma'rifatulloh?" Tanyaku.

"Siapa takut?" Kami tertawa bahagia. Doa Robithohku tak sia-sia. Allah masih melekatkan hati kami dalam dakwah, Insya Allah.
Read More...